Ilustrasi : Dede Lukman Hakim |
Sebuah ironi muncul di akhir November 2014, berlakunya parkir berbayar di UIN SGD Bandung merupakan muntah pemangku kebijakan kampus yang tak dibersihkan. Mahasiswa yang kena cipratannya dipaksa untuk membersih. Sejak itu pemandangan di dekat pintu gerbang kampus sudah selaiknya mal pada umumnya. Beberapa kendaraan berbaris dalam saf untuk mengambil karcis parkir sebelum masuk kampus.
Ketika pulang, mereka berhenti sebelum palang parkir dan membayar seribu untuk motor dan mobil dua ribu per 24 jam. Rencananya, pendapatan parkir akan dialokasikan untuk pengadaan lahan parkir dan asuransi kendaraan. Itu dibenarkan oleh Kepala Bagian (Kabag) Umum, Fathujaman. Karena ini tersistematis seluruh mahsiswa menurutinya dalam bungkam.
Lahan parkir merupakan sebagian fasilitas yang seharusnya ada dan menjadi tanggung jawab kampus, bukan mahasiswa. Seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 45 bahwa setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan peserta didik.
Jika dikuliti permasalahan secara kontekstual dengan mensinkronkan antara undang-undang dengan kondisi faktual kebijakan parkir. Dapat diketahui ini merupakan propaganda atas ketidak bertanggungjawaban kampus. Dalam hal ini, kampus telah memberatkan tanggung jawabnya kepada mahasiswa karena tidak sejalan dengan konstitusi di atas. Tanpa disadari secara implisit mahasiswa diminta menyediakan fasilitas parkir.
Pada renovasi dan pembangunan infrastruktur yang rampung pada 2012, kampus dinilai lebih terfokus pada pembangunan gedung dan mengabaikan lahan parkir. Nampaknya penyediaan lahan parkir tidak direncanakan dalam masterplan pada prarenovasi dan pembangunan gedung di kampus ini. Akibatnya kendaraan terparkir semrawut dan ini mengejutkan pihak rektorat. Akhirnya dibentuklah Pusat Pengembangan Bisnis yang dikepalai oleh Dosen Fakultas Ushuludin, Ayi Sofyan.
Pusat Pengembangan Bisnis dibentuk sebagai jembatan antara kampus dengan pengelola parkir, Trust Parking, untuk memberlakukan parkir berbayar. Dalam hal ini Ayi dibuat dilema, dia mengaku lahan parkir selaiknya tidak dibebankan kepada mahasiswa dan ini menjadi tanggung jawab rektorat sepenuhnya. Di lain sisi, Ayi dituntut melaksanakan tugas yang dibebankan oleh rektorat.
Tapi apa daya, kebijakan kembali kepada rektor dan mengalihkan tanggung jawabnya kepada mahasiswa. Padahal segala kebutuhan penunjang pendidikan telah didanai 20% dari APBN dan itu tertera dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 49 tentang pengalokasian dana pendidikan. Anggaran lain berupa Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) yang mahasiswa bayar tiap smester. Sepantasnya cukup dua sumber anggaran tersebut sebagian persennya untuk mengkaver biaya pengadaan lahan parkir, belum lagi ditambah dana berupa hibah lainnya dari pemerintah.
Kebijakan parkir berbayar nampak sebagai akibat dari lahirnya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 62-65. Dalam pasal tersebut telah disebutkan bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi dalam mengelola lima bidang non akademik, satu diantaranya soal keuangan.
Jadi, UIN Bandung mengelola keuangan bersifat otonom. Dalam Undang-undang itu dijelaskan bahwa perguruan tinggi terbagi menjadi dua pengelola keuangan, Badan layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum. Undang-undang tersebut dinilai mematahkan UUD 1945 pasal 3 ayat 2 karena perguruan tinggi di Indonesia berkewenangan mencari pendanaan tanpa kontribusi negara.
Jika UU No. 12 Tahun 2012 itu diterapkan, kampus akan mencari dana ke mana-mana. Parkir berbayar di kampus ini adalah salah satu bukti komersialisasi yang dianggap benar di dunia pendidikan.
Berkaitan dengan ini, Rektor selaiknya benar-benar memanfaatkan anggaran APBN sesuai dengan perencanaan yang benar-benar matang. Sehingga mahasiswa tidak dirugikan.
0 komentar:
Posting Komentar