Ilustrasi. Doc.baltyra.com
Bagaimana rasanya mandi di kamar mandi terbuka ?, tak ada pintu, tak ada jendela, atap pun terbuka, orang antre di luar. Rasanya malu bagi pendatang sepeti saya !. Lain lagi bagi warga Desa Cimenteng, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang. Mereka yang tidak atau memiliki sumur dirumahnya rela antre pagi dan sore untuk mandi dan cuci baju di kamar mandi terbuka itu, kamar mandi umum yang ada sejak desa ini berdiri.
Dini hari, para bapak keluar rumah, berpeci, bercelana pendek memakai kaos oblong, baju koko dan sarung diselendangkan, mereka langsung pergi ke masjid. Tangannya menenteng handuk, tangan satunya menjinjing ember, benarkah mereka pergi ke masjid?. Embernya berisi gayung, sabun, sikat dan pasta gigi. Bagian belakang pojok kanan masjid ada kamar mandi umum. Terus berjalan menuju masjid, tapi mereka melewatinya dan terus berjalan ke belakang pojok kanan masjid, ternyata mereka pergi mandi. Bukan mereka tidak punya sumur atau sumurnya kering, mereka lebih tertarik pada kamar mandi umum itu, kumal dimakan usia, tak ada gayung dan ember. Ketika masuk kamar mandi hanya ada pancuran besi yang panjangnya sekitar 20 centimeter. Itu sebabnya mereka menjinjing ember. Ada dua sumur umum di Kampung Cimenteng RT. 02/01. Di belakang pojok kanan masjid Jamie Darussalam, sebut saja cai deukeut (air dekat) maksudnya letak kamar mandi berada dekat dengan pemukiman warga. Satunya lagi cai Jauh (air jauh), kamar mandi umum yang berada jauh dari pemukiman warga, sekitar 100 meter dari cai deukeut ke arah Barat. Tak ada yang istimewa dari kamar mandi itu, tembokkan rapuh, lantai tidak berkramik bahkan bolong-bolong. Airnya mengalir deras, itupun dini hari dan setelah magrib. Suatu pagi menjelang subuh saya mandi, sebelumnya disepanjang jalan menuju kamar mandi saya merasa khawatir, bukan karena gelap atau kedinginan melainkan khawatir jika ada seorang perempuan yang melihat saya mandi telanjang !. Untungnya tidak ada orang antre di luar kamar mandi, setelah mendekat kamar mandi memang lengang. Kekhawatiran sedikit menghilang, pintu kamar mandi ditutup dengan sarung putih yang saya bawa, ternyata sarung tak cukup menutupi seluruh lawang pintu, sehingga bagian dalam kamar mandi tetap terlihat dari bawah. Barulah saya mandi dan sensasi dinginnya cukup menggigil. Selang beberapa menit, terdengar suara obrolan di luar, suara perempuan !. Kekhawatiran itu muncul lagi dan membalut pikiran sampai dingin pun tak dihiraukan. Untungnya mandi selesai, sialnya belum selesai mamakai celana seorang perempuan mengangkat sarung dan berkata “buru atuh lalaki ! (cepat dong laki-laki)” gerutunya. Ketika saya melirik, wanita lanjut usia menerobos masuk dan dari luar berjejer wanita lanjut usia lain. Apa yang dipikirkan Ajat, Lurah Desa Cimenteng sampai tidak berkoordinasi dengan warga untuk memperbaiki kamar mandi umum itu ?. Padahal belum ada perbaikan dari tahun ketahun. Menurut udin, warga sana “tidak akan diperbaiki karena lurahnya sebentar lagi akan lengser” katanya ketika ditanya soal perhatian lurah. Rabu 30/7/2014. Baik cai jauh atau cai dekat tetap menjadi kamar mandi favorit warga Desa Cimenteng. Walaupun disetiap rumah mereka memiliki sumur, ketika mandi atau cuci pakaian mereka memilih pergi ke kamar mandi umum itu. |
Senin, 04 Agustus 2014
Home »
» Kamar Mandi Kumal Jadi Favorit Warga
Pada dasarnya, bagi saya -yang hampir sepanjang hidup saya hidup di pinggiran kota besar- fenomena seperti ini mungkin saja langka. Makanya ketika beberapa bulan lalu, yang dengan sengaja saya mengalami hal tersebut, saya merasa bahagia namun tak melegakan hati. Itu sama halnya ketika saya yang jarang berjumpa dengan pantai kotor, senang kalau berfoto di pantai; saya yang jarang menemukan kebun jagung, bahagia berfoto adug-adugan disana; dan saya jarang menemukan tempat pemandian umum kemudian mandi sesering mungkin dan berfoto disana.
BalasHapusTapi dalam konteks lain, misalnya soal kesejahteraan masyarakat hal tersebut dipandang sangat miris. Artinya, seperti yang diungkap dalam tulisan Dede Lukman Hakim sebelumnya itu hal yang sangat serius. Dalam hal ini, Pemerintah Desa/Kecamatan tentu berperan aktif dalam menyediakan merekayasa dan membangun ekosistem, sarana serta prasana vital seperti saluran air, irigasi yang baik, jembatan, jalan akses keluar masuk yang mendukung transaksi usaha, sampai dalam hal ini adalah wc umum.
Deskripsi yang Dede yang uraikan, mungkin dapat didiskusikan dalam 4 hal ini:
1. Ketersediaan air di dalam tanah yang kurang baik atau tidak merata. Hal ini terjadi, jika saya tidak salah, biasanya karena daerah tersebut tidak dilewati oleh saluran air atau sumber mata air yang jauh. Sehingga untuk menggali sumur pun, sumur pribadi warga atau secara berkelompok harus memiliki dana yang cukup lumayan karena permukaan air yang jauh di dalam. Fakta seperti ini banyak kita temukan di beberapa daerah/desa yang tinggal di daerah pegunungan dengan tanah yang gersang, sumber mata air dan saluran air yang jauh serta tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata rendah.
2. Sebagian warga tidak memiliki WC/Toilet/Kamar mandi sendiri. Fenomena ini adalah implikasi dari poin pertama tadi. Dengan tingkat kesejahteraan warga yang rendah dan perasaan malu sendiri, yang kadang membuat mereka enggan untuk ikut numpang di saudara/tetangganya.
3. Ketidakpedulian Pemerintah Desa/Kecamatan/UPK/PNPM terhadap penyediaan akses saluran air dan penyediaan WC umum. Penyebabnya dapat tiga hal; ketidakcukupan dana sehingga masalah ini tidak menjadi prioritas. Kedua; karena Pemerintahan Daerah tersebut korup alias teu baraleg. Ketiga, karena SDM aparat pemerintahnya saja yang belegug.
4. Hobi dan kenyamanan. Perasaan ini saya rasakan juga ketika 2 minggu bekerja saat ada projek kecil di Pandeglang, Banten. Hampir 3 hari sekali, kami menyengajakan diri mandi dan mencuci di tempat pemandian umum. Namun penyebab lainnya juga karena aliran air ke tempat kami tinggal sangat kecil dan harus bergantian dengan tetangga. Bahkan dijadwal dalam hitunan jam. Padahal lokasinya hanya 1 KM dari alun-alun kota. Kondisinya sama seperti yang Dede gambarkan, berdekatan dengan mesjid dan sedikit terbuka, bercampur antara pria dan wanita. Dua pemandian umum dalam satu kampung, dekat aliran sungai yang berbeda ukuran dan kadar aliran airnya. “Ah, di bumi mah hese cai a. Ngucurna sakeudik,” menurut warga yang ketika itu saya berkesempatan untuk mengobrol sambil mengantri.
Fenomena ini mungkin masih terjadi di banyak kampung, desa di sekitar kita yang kadang kita tidak ketahui, lupa atau terabaikan. Catatan Dede tadi sangat menarik bagi saya seiring dengan berkembangnya teknologi, makin pandai dan terdidiknya kaum kuliahan, luar biasanya kehidupan ekonomi kita serta pemerintah yang kaya raya, sepertinya tidak perlu waktu panjang untuk segera mengambil solusi gotong royong bersama pemerintah desa sesuai dengan kesanggupannya masing-masing. Saya hanya teringat pernah mengenal beberapa program dari pemerintah dan perusahaan (dengan program CSR-nya) seperti bantuan RTLH (Rumah Tidak Layak Huni), Pembangunan WC Umum, Teknologi/Mesin Penyalur Air yang cukup untuk satu Perkampungan, dan program pembangunan sarana prasarana pedesaan lainnya.
Mohon koreksi jika ada kekhilafan.
Salam. Fajar Fauzan