Rambut yang buat geram Dekan FISIP, Sahya Anggara. Kamis 26/6/2014. (Foto: Dede Lukman Hakim) |
Jumat, 27 Juni 2014
Home »
Kampusiana
» Rambut Gondrong Jadi Kontroversi
Rambut Gondrong Jadi Kontroversi
Soerang
berambut gondrong masuk sekretariat Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) di
Student Center (SC) pukul setengah lima sore beberapa hari yang lalu. SC
nanmpak lengang karena libur smesteran. Mahasiswa yang belum pulang kampung
masih sibuk dengan kepentingannya disana. Sekretariat LPIK makin gelap,
beberapa hari itu sering turun hujan. Seorang berambut gondrong itu bernama
Galah Denawa, sebuah “nama pena” yang lebih dikenal orang dari pada Muhammad
Din Nasrudin, nama aslinya.
Memegang
buku berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas” di depan rak hitam. Dari dekat
berbagai literasi tertata tak begitu rapi bekas dibaca oleh mahasiswa LPIK.
Memang, buku jadi santapan mereka setiap waktu. Tak lama, salah satu mahasiswa
Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu pindah dan duduk di samping
meja inventaris dari rektorat. Sejak itu dia bercerita penyesalan terhadap
aturan rambut yang tidak boleh gondrong. Dekan FISIP, Sahya Anggara yang
mengeluarkan aturan itu.
Fisip
menjunjung tinggi kedisiplinan, salah satu upaya nya dengan memasang baner di
lantai satu dan dua Fakultas Ilmu Social dan Ilmu Politik. Tentang kerapihan
selalu dicontohkan oleh birokrat Fisip. Berpakaian rapi berdasi saat mengajar,
memimpin doa sebelum dan sesudah belajar di kelas dan dosen diwajibkan
memberikan pembinaan mental selama 5 menit sebelum mengajar.
Sambil
menggelengkan kepala, Galah bertanya “Saya tidak mengerti kenapa saya tidak
boleh gondrong ?” tuturnya bingung. Ketika ditanya kenapa, sedikit jawaban dari
Sahya, “ini sudah menjadi aturan”. Galah yang rambutnya gondrong sampai bawah
punggung itu menyadari aturan tak boleh berambut gondrong memang ada,
“tapi persoalannya adalah bagaimana rambut gondrong ini tidak menggangu”
katanya lagi. Ada suara gitar dan nyanyian mahasiswa di luar. Suara obrolan
kami kencangkan.
Setiap kali
masuk kegiatan belajar di kelas, rambutnya diikat. Tak pernah pakai celana
bolong kaos oblong, selalu bersepatu dan berkemeja. Kembali dia bertanya “saya
tidak mengerti kenapa tidak boleh gondrong, kalau jawabannya peraturan, saya
tidak puas, dan itu harus dijawab”.
Sesekali
suaranya menggebu, menceritakan kekecewaannya terhadap Birokrat Fisip. Galah
seorang anggota senat Fisip dan akan mengadakan rapat senat di lanatai dua. Dia
menunggu di depan aquarium dekat pintu masuk Fisip sambil mengetik, rambutnya
sengaja diikat. Dari lantai dua, jajaran dekan memperhatikannya. Rapat akan
dimulai, Galah beranjak ke atas menuju ruang rapat.
Sebelum
sampai ke sana, Wakil Dekan, Encup Supriatna mencegatnya dan berbicara “ini gak
boleh gondrong ya kalau di Fisip itu” Galah mengisahkan. Dia menginginkan ada
dialog, namun sebelum dialog lebih jauh dekanat jalan tergesa-gesa dia langsung
memukul meja “lamun teu satuju jeung peraturan saya, lamun teu sapaham jeung
peraturan saya, ngieun fakultas sorangan! pilihanna aya dua, lamun teu
dikaluarkeun, kaluar sorangan” nunjuk-nunjuk sampe ke idung dan ke jidat.
Tuturnya menirukan sahya dalam Bahasa Sunda.
Ketika
pelantikan senat, ada sambutan dari dekan, dia berbicara dan memanggil namanya,
tapi dia tidak tahu namanya siapa, di UIN sebagai apa, trackrecord-nya
seperti apa. Dia memanggilnya dengan sebutan “Isabel”. Galah merasa
dipermalukan.
Tak hanya
itu, ketika mau UAS, tiba-tiba seorang utusan dekan menariknya untuk menghadap
dekan, “ke heula atuh, UAS heula” tolaknya dalam bahasa sunda (nanti,
uas dulu, Red-). Disitu ada satpam dan ikut menariknya, dia bilang “Nanti dulu”
tetapi mereka memaksa dan terpaksa pula Galah menurutinya.
Di ruang
dekan, terjadi dialog dengan Sahya, selama hampir satu jam. Saya tanya “kenapa
gak boleh gondrong?” “ Ini sudah peraturan” jawab Sahya. Alasan tetap tidak
bisa dimengerti karena tidak jelas. Lelaki yang termasuk 62 penyair Jabar
terkini 2012 itu kembali berbicara, menurutnya fungsi dari kuliah itu ketika
kembali ke masyarakat bisa menjelaskan persoalan kehidupan. Jangankan
menjelaskan persoalan kehidupan, menjelaskan kenapa tidak boleh berambut
gondrong saja tidak bisa.
Pernyataan
terakhir itu membuat Sahya tidak tenang lagi. Geram dan raut wajah
berubah. Semula ingin mengobrol baik-baik sudah tidak lagi. Tangannya tak
bisa lagi ditahan. Brak… meja dipukulnya, kata kotor pun dilontarkan
Sahya.
Alasan
Sahya
Sinar
matahari masuk ke setiap ruangan Fisip. Satpam bersiaga disetiap lantai. Menuju
receptionis untuk menukarkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dengan id-card
bertuliskan “tamu”. Bersama seorang satpan menuju ruang dekanat.
Ruangan
tertata rapi. AC menyala membuat dingin. Ketika masuk, senyum sapanya
menyambut. Obrolan diawali dengan komitmen birokrat Fisip yang menjunjung
tinggi kedisiplinan, “kedisiplinan merupakan modal dasar keberhasilan individu
maupun institusi” pungkasnya.
Soal rambut
gondorng, ditilainya tidak rapi. Sahya menginginkan mahasiswa yang tidak
berpenampilan rapi menurutnya, untuk segera berubah. Penampilan diri
ditonjolkan dengan wujud kongkrit yang dapat dilihat dan berkenaan dengan
akhlak.
Ini adalah
wahana binaan, ketika dibina bukan hanya intelektual yang menjadi tanggungjawab
utama, pun binaan akhlak yang menjadi tanggungjawab utama Institusi Pendidikan.
“tolak ukurnya bagi saya, kepandaian seseorang apabila ada dua arahnya, yakni
akhlaknya bagus dan otaknya bagus. Itu baru berhasil” tuturnya lantang.
Lima tahun
jabatannya menjadi dekan, menurutnya memiliki tanggung jawab untuk pendidikan
dan pengajaran, dia tidak mau mahasiswanya pandai tetapi akhlaknya buruk.
Ketika lulus Sahya mengharapkan mahasiswanya memiliki paradigma yang dibangun.
“inilah lulusan UIN, dia pandai dan berakhlakul karimah” harapnya.
Masyarakat
tidak akan menanyakan lulusan Fisip, melainkan Almamater UINnya. Karena
itu Sahya mengharapkan pada mahasiswa Fisip untuk bisa mengikuti sistem yang
telah terbentuk untuk kebaikan mahasiswa ketika nanti di masyarakat. “mahasiswa
yang salah dan tidak mau diperbaiki oleh sistem, bagaimana nanti dimasyarakat
yang lebih bebas?, itulah rahasianya kenapa saya memaksakan semacam itu kepada
staf dan mahasiswa” tuturnya.
Galah Denawa
yang pernah mewakili UIN sebagai penyair dalam Temu Sastra Indonesia ke-4 di
Ternate, pada Oktober 2011, sangat menyesalkan cara yang digunakan Sahya.
Ketika ditanya apakah cara yang digunakannya benar, dengan tegas dia menjawab
“tidak!”.
“coba
bayangin dia menyuruh saya mencukur rambut sambil menunjuk-nunjuk jidat saya.
Saya kira kita hidup ada dilingkungan sunda dengan etika sunda itu sendiri,
misalnya, “ saha nami? Linggih timana?” mencontohkan dengan nada lembut.
Dialog akademis diharapkan bisa dilakukan dengan Sahya.
Dia kembali
mencontohkan “kenapa kamu gondrong? ayo ngobrol sama bapak di kantor, nih
kopinya, bapak sudah kuliah S1, S2, S3, bapak sudah baca buku banyak, bapak
sudah banyak pengalaman, ayo ngobrol “Jika misalnya dialog seperti itu
lalu saya kalah dalam dialog itu, saya dengan hormat bisa memotong rambut saya.
0 komentar:
Posting Komentar