Sabtu, 27 Desember 2014
Home »
» Gelisah, Berkah Wong Cilik
Gelisah, Berkah Wong Cilik
Kepala litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Suaka, Panshaiskpradi Asia yang berjulukan “Prad” baru saja beranjak dari sekretariat
di Jalan A.H Nasution No. 36, Kota Bandung. Tempat itu kumuh, banyak gambar dan
coretan lelucon pada dinding ruangan yang berukuran sekitar 4x5 meter itu.
Sekretariat lain pun sama, ada 22 Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Unit Kegiatan Khusus (UKK) yang ditempatkan dalam
dua saf bangunan berlantai dua saling
berhadapan. Sebagian atap rapuh dimakan usia dan tak ada reparasi, tapi mereka
begitu menikmatinya, karena itu salah satu rumah kedua setelah kosan bahkan
kampus kedua tempat mereka meningkatkan kemampuan diri.
Prad seorang idealis. Sejak menjadi mahasiswa
Jurusan Perbandingan Madzhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung, ia
sangat memercayai kebenaran yang diyakininya. Sekalipun kebenaran itu dianggap
keliru, namun dia tetap mewujudkannya dalam bentuk tindakkan untuk mengetahui
apakah kebenarannya itu keliru atau tidak. Itulah cara dia menunjukkan
keidealismeannya.
Awal menjadi mahasiswa UIN SGD Bandung,
terbersit kegelisahan dalam pikirannya. Kegelisahan tentang semua soal
kehidupan, masa depan, semuanya. Prad mengartikan kegelisahan berupa ketidak
puasan dalam berpikir.
Sempat dia mengira bahwa dia gila karena
memikirkan kegelisahan dan apakah pemuda lain sama seperti dia, yaitu
memikirkan kegelisahan hidup? “ah, sebenarnya orang yang gila itu orang yang
tidak berpikir, aku berpikir maka aku tak gila” sangkalnya.
“Kegelisahan itu muncul ketika ada
pertanyaan, sementara kegelisahan itu
akan sangat menerkam jika tidak ada jawaban” tuturnya. Kegelisahan tersebut
benar-benar Prad alami ketika awal smester 7.
Berjarak 100 meter ke arah timur
sekretariat, Prad tiba di persimpangan jalan Cipadung. Seketika dia
menghentikan jalannya dan duduk di depan gerobak soto dengan terpal terbuka.
Bukan Terik matahari yang berhasil menggoyahkan
Prad untuk berhenti berjalan melainkan lapar seketika datang, lantas dia
memesan semangkuk soto. Tak ada pedagang lain di sana, yang ada hanya gerobak
dagangan yang tutup karena waktu tengah hari, sekitar pukul 2. Biasanya
menjelang sore baru gerobak-gerobak itu buka meramaikan persimpangan jalan A.
H. Nasution.
“ini, a” seorang pedagang menyajikan
semangkuk soto yang dipesannya. Aroma soto khas madura ditambah perut yang
semakain lapar menambah kenikmatan di setiap kunyahannya.
Seorang anak ingusan memakai kaos kumel
tanpa kaya sekonyong-konyong datang. Mengulurkan telapak tangannya yang terbuka
dengan bungkam.
Sorotan mata penuh simpul, dia meminta dalam
diam. Berharap Prad memberikan satu keping dua keping receh atau uang kertas.
“Kasihan sekali” gumamnya. tak ada yang memperdulikan bocah itu.
Melihat sorot matanya Prad tak lantas
bergeming, menghentikan makan, ramai orang lalu-lalang bahkan bising suara
kendaraan seakan terhenti. Terlintas kegelisahan dalam pikirannya.
Karena pandangan sosialis, Prad tidak
memberi uang sepeserpun kepada bocah itu. “Kalau ngasih gak baik, tidak
mendidik” ucapnya. Prad berpikir jika bocah itu atau pengemis manapun terus
diberi uang, mereka akan nyaman diposisinya, sehingga tidak mau bekerja.
Dia kembali menyantap soto yang harus
dihabiskannya. Bocah itupun pergi. Kenikmatan soto tak dia hiraukan lagi,
karena setelah melihat bocah itu hingga habis soto, bukan kenikmatan yang dirasakan
melainkan kegelisahan. Kegelisahan yang selalu terbawa menjelang tidur.
Hampir setiap waktu Prad mempertanyakan dan
mencari solusi tentang kegelisahan itu dalam perenungan. Sayangnya, di setiap
jawaban-jawaban yang didapatkan malah muncul pertanyaan-pertanyaan baru. Apakah
tidak memberi uang karena pelit? Atau pelit karena alasan tidak mendidik? Atau
sebenarnya dia tidak pelit dan tidak memberi karena memang jika memberi kepada
pengemis itu tidak baik?
Belum lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang
perlu dijawab. Bagaimana hubungannya dengan negera, dengan masyarakat,
tanggungjawab mahasiswa dan tanggungjawab manusia? dll.
“Persis Soekarno buat pancasila, tidak sim salabim tapi hasil dari kegelisahan.”
Tuturnya.
Esok harinya, sudah menjadi kebiasaan Prad
pergi ke sekretariat usai kuliah. Selain diskusi, sekadar ngobrol, bernyanyi
atau kongko-kongko bersama anggotan UKM dan UKK lain kerap dia lakukan. Sakin
asyiknya, tak heran jika dalam seminggu Prad lebih sering pulang ke kosan larut
malam.
Tengah malam di dua hari setelah bertemu
bocah pengemis itu, Prad kembali merenung, mengingat-ingat kembali kejadian
siang itu di gerobak soto. “Ketika saya mnghadapi anak-anak yang minta uang,
pikiran saya ingin menolak memberi karena tidak baik.” Renungannya.
Dia pun merasa jika waktu itu memberikan
uang bukan berarti menyelesaikan masalah. Tidak memberi atau memberi uang
ujung-ujungnya sama saja, dia akan terus meminta-minta pada orang lain.
“lalu apa yang sebenarnya menjadi faktor
mendasar dan membuat mereka terus meminta-minta? Malam terlalu malam, Prad tertidur.
Malam selanjutnya pun seperti itu, “Tapi karena
saya trus berpikir” kata Prad, hingga di hari ke-7 setelah bertemu bocah itu, Prad
menemukan akar permasalahan dan mengetahui apa yang harus dilakukan.
Prad tak menunda waktu, apa yang dia gelisahkan
serta tindakan yang harus dilakukan langsung didiskusikan dengan seorang
temannya bernama firman. Dalam diskusi, Prad menjelaskan bahwa seminggu lalu
dia dimintai uang oleh seorang bocah (pengemis), tetapi dia tidak memberinya
uang, dan faktor yang memengaruhinya adalah ekonomi. Kemiskinan.
Dia berpikir masih ada orang miskin yang
tidak mengemis. “Berarti itu adalah orang berpikir yang berilmu. Jadi akar
masalahnya, anak-anak sepaket dengan orang tuanya mengemis. Adalah karena ilmu
atau kebodohan.” Tuturnya menggebu kepada Firman.
Untuk mengatasi kegelishan ini, Prad
menjelaskan kepada Firman bahwa perlu menciptakan wadah untuk mendidik
anak-anak di luar jam sekolahnya. Hal ini dia katakana pula kepada teman-teman
sekelasnya.
Sore itu, dosen tidak masuk dengan alasan
yang tidak jelas. “Seperti biasa, alasan dosen gak masuk karena urusan di
luar,” ungkapnya. Maka Prad memanfaatkan waktu itu untuk mempresentasikan hasil
diskusinya dengan Firman. Dalam persentasi itu, teman sekelas menyetujuinya
hingga menghasilkan “wadah” yang dimaksudkan dengan nama Rumah Kita.
“Nah awalnya mau fokus ke anak-anak jalanan,
punk di lampu merah, tapi kesini-kesini ternyata fokus ke anak-anak yang ada di
sekitar daerah manisi dulu, soalnya mereka sama-sama membutuhkan bantuan atau
didikan diluar jam belajar di sekolah. Rumah kita didirikan dengan tujuan
Mmberi ruang fantasi kreatif untu anak-anak “Itu untuk pendidikan soft skill,”
pungkasnya.
Rumah Kita diresmikan pada 20 Maret 2013
Hubungannya antara pengemis dengan
didirikannya Rumah Kita adalah karena bocah pengemis tadi memicu seorang Pradi
untuk berpikir bagaimana caranya mengatasi orang-orang seperti mereka. “Intinya
bukan kemiskinan tapi pendiikan” jelas Prad.
Tidak perlu mengajak atau memanggil pengemis
yang lalu-lau, karena dia sudah entah kamana. “Mending dimulai dari apa yang
ada di sekitar kita.” Paparnya.
“Kita tak ada tujuan mengurangi pengemis,
tujuan kita memberikan pendidkan. Karena untuk keluar dari kemiskinan adalah
pendidikan itu sendiri.” Jelas Prad.
0 komentar:
Posting Komentar