Selasa, 29 Juli 2014

Comunity Helpful Komunitas Topi Bambu


Agus Hasanudin (Kang Gugus), pendiri Komunitas Topi Bambu memegang piagam penghargaan Rekor Muri berkat jasanya membudidayakan kembali kerajinan berbahan dasar bambu. Senin 30/6/2014. (Foto: Dede Lukman Hakim)

Cuaca lembab tidak menghentikan Agung datang ke galery di pinggir Jalan Raya Serang KM 15, RT 01/01 No. 170, Desa Cikupa, Kec. Cikupa, Kab. Tangerang - Banten. Lelaki yang acapkali dipanggil “Begeng” itu seorang anggota komunitas topi bambu sekaligus mahasiswa. Bersama temannya menggerilyakan kerajinan yang terbuat dari bambu. Berusaha mengembalikan keberadaan topi bambu yang hampir punah sebagai ciri khas Kabupaten Tangerang. Di dalam galery, puluhan topi bambu berbagai jenis dan ukuran bertengger di tembok. Ada juga yang dijajakkan di atas meja menemani obrolan kami menyoal fungsi Komunitas Topi Bambu yang di embannya. 

Berbagai jenis topi bambu sengaja disimpan di atas meja saat kami berbincang. Dari yang setengah jadi hingga siap jual. Begeng mulai berbicara soal komunitasnya. Komuntas ini lahir dari perkumpulan blogger yang berdomisili di Tangerang.  Mereka memiliki kekhawatiran akan punahnya topi bambu yang dulu merajai Paris, Francis. “Setelah kita tahu dizaman penjajahan Belanda topi bambu itu dulu ternyata sempat diexport ke Eropa dan Asia Timur dan menguasai pasar. Topi ini dipake Tentara Belanda, bahkan di Paris sampai dipake buat mode.”  Pungkas Begeng melirih. Dari situ lahir Komunitas Topi Bambu pada 27 Februari 2011 yang diprakarsai oleh Agus Hasanudin, Andi Sakab, Moh. Arif Widarto, Muhammad Ramy Dhia Humam, Rizki Nugroho Destrian.

Menjual sekaligus memperkenalkan kembali topi bambu dan produk lain seperti sandal, tas hingga tatak yang berbahan dari bambu ikut dipasarkan secara online. Itu merupakan fungsi utama komunitas ini. Bukan hanya produk berbahan bambu, pun segala produk hasil Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Ini bertujuan untuk menggerakkan UMKM yang ada di Tangerang, karena menurutnya UMKM di Tangerang belum ada yang bisa dibanggakan.

Perlu ketelatenan dalam membuat kerajinan berbahan dasar bambu, salah satunya pembuatan topi bambu yang menjadi icon kota Tangerang bahkan menjadi logo Kabupaten Tangerang. Setiap bambu dipotong satu meter dan diiris sedemikian tipis hingga menjadi ilaban. Kemudian dianyam dan jadilah sebuah topi bambu. “Bambu yangg diiris jadi ilaban, itu yang menjadi kendala. Sampai sekarang belum ada mesin yang bisa istilahnya masukin bambu kemudian keluar jadi helaian ilaban. Kita memang masih manual, makannya lama. Karena itu bener-bener dikatakan handmade” jelas Begeng.

Segmentasi pasar menentukan jumlah topi yang diproduksi, misalnya topi pramuka yang memang dikenakan oleh mayoritas anak sekolah dasar dari Sabang sampai Merauke. Diproduksinya pun hingga delapan ribu kodi. Selain itu pemproduksian terfokus pada topi yang sudah ada modelnya, salah satunya model topi Ratu Elizabeth. Untuk saat ini, topi dipasarkan di lokal Tangerang, paling jauh diexport ke Medan, Pontianak dan Bali.

Dalam pergerakannya, komunitas ini memiliki motto “Helpful Community” komunitas yang membantu UKM yang belum bisa melakukan penjualan secaran online. ”jadi, komunitas ini saling membantu lah, misalnya ada UKM ranginang atau dodol, kita ngobrol dengan pengusahanya, kemudian kita liput selanjutnya kita posting di website” tuturnya lagi. Bukan hanya itu, kerjasama pun di galakkan, salah satunya dengan Himpunan Mahasiswa Tangerang dalam pendirian Kampung Topi Bambu di daerah Jambe, mereka juga bekerjasama dengan Telkom untuk masalah pembiayaan.

Ditengah geliat menaikkan eksistensi topi bambu, terbesit kekhawatiran akan pengrajin yang semakin berkurang, karenanya Begeng berharap diadakan pelatihan membuat kerajinan bambu di sekolah-sekolah , hanya kita terbatas oleh biaya dan orangnya, ya kita susah juga. Jadi Cuma impian sementara saja.  Kita bisa jadi mentor ekstra kulikuler disekolah, ngajarin menganyam.” Harap Begeng. Kekhawatiran itu terbukti dengan penolakkan tawaran dari pengusaha asal Hongkong pada akhir 2013, pihak Hongkong meminta topi bambu berukuran besar diexport satu kontainer perbulannya. Tawaran itu mereka tolak, karena Sumber Daya Manusia (SDM)  yang kurang memadai dan sudah lansia. Ditambah tempat tinggal pengrajin yang kini digusur oleh para makelar tanah.

Untuk memasukkan produk diperdagangan bebas pun masih ragu dengan alasan SDM yang kurang mampu memproduksi barang lebih bagus dengan jumlah banyak “Kalo topi pramuka bisa diexport, gak masalah, masalahnya mereka pake  topi pramuka seperti ini gak?” seloroh Begeng. Dalam waktu dekat kita mau ikut acara-acara lokal, seperti di kampus saya ada karnaval selama seminggu, yang penting kita memperkenalkan dulu kemasyarkat” pungkasnya.
Disisi lain, komunitas ini berhasil menggaet banyak penghargaan, salah satunya  pada 7 Agustus 2011 Komunitas Topi Bambu ini memboyong Rekor Muri dengan topi terbesar berdiameter dua meter. “Rekor muri ini kita sama sekali tidak mengeluarkan modal, malah gak nyangka kita didukung oleh ibu menteri untuk mecahin rekor, setahu saya untuk biaya rekor murinya aja sampai puluhan juta rupiah” pungkasnya lagi.

Begeng berharap, topi bambu yang sudah kita kembalikan lagi seperti ini punya pasar yang layak. Syukur-syukur bisa export. Memang harapan kita kedepannya ke sana. Selanjutnya, UKM se-Tangerang itu bisa melek tekhnologi. Kita juga mengharapkan lebih banyak anggota, kita udah sebar form pendaftaran dan ternyata susah banget nyari anggota, kalo komunitas motor mudah ngajak anggotanya, tapi kalo komunitas kayak kita, susah bener. Seloroh Begeng. Selasa 29/7/2014.






0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com