Kamis, 11 Juni 2015

Batu Pertama Untuk Fakultas Kedokteran

Rektor UIN SGD Bandung, Deddy Ismatullah (kiri) dan Asisten Daerah III Provinsi Jawa Barat, Ahmad Hadadi tengah meletakkan batu pertama untuk pembangunan Fakultas Kedokteran di Jl. Cimencrang, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung. Kamis (22/5/2014). Proses pembangunan masih terhambat biaya dan hingga saat itu pihak kampus sedang mengupayakan dana dari APBN.Rencananya pembangunan akan dimulai awal Tahun 2015.  Foto: Dede Lukman Hakim

Menunggu Rombongan Datang

Banner dan  bendera Federasi Persatuan Perjuangan Buruh – Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (FPPB-KASBI) terpampang di sebrang Jl. AH. Nasution. Ratusan demonstran yang tergabung dalam organisasi ini menunggu rekan lainnya untuk menuju Gedung Sate. Kamis (1/5/2014). Mereka menuntut kesejahteraan buruh salah satunya dengan kebijakan penetapan gaji sesuai UMR. Foto: Dede Lukman Hakim

Ideologi Jurnalisme

wordpress.com


Pada era globalisasi ini, hajat hidup manusia tidak lepas dari kemajuan teknologi, yang tidak akan lepas dari berbagai aspek kehidupan manusia. Pada hakikatnya pers merupakan subjek penyampaian informasi melalui media secara netral dan independen, bahkan media telah menjadi candu yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Pada bab 1 pasal 1 KODE ETIK JURNALISTIK dijelaskan bahwa wartawan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa  Pancasila, taat Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, bersikap independen  serta terpercaya dalam mengemban profesinya.” Apa yang akan terjadi jika pers sudah tidak mengacu pada kode etik tersebut?

Seperti yang kita ketahui, dewasa ini media sudah tidak bisa berdiri secara independen. Mengingat konglomerasi media seperti halnya di Indonesia, hampir semua media dikuasai secara invidual bahkan dapat dikatakan mereka sudah buta akan keidealisannya demi kepentingan mereka yang secara implisit bernepotisme melalui ranah politik. UUD 1945 pasal 33 ayat 3, menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Konglomerasi media sangat mudah dilakukan terlebih bagi media elektronik dan online yang pergerakannya tergantung pada frekuensi, dan frekuensi tidak akan ada habisnya. Frekuensi merupakan kekayaan udara, seperti yang telah dijelaskan dalam undang-undang di atas. Tak bisa dielakkan bahwa dalam kenyataanya frekuensi kini dikuasai untuk kepentingan-kepentingan politik. Tak ayal jika mereka kita anggap berideologi kapitalis.

Siapa yang berani menjamin pembaharuan yang lebih baik di kancah media atau bisa disebut seantero neraka ini.. ? Perubahan ideologi media perlu dilakukan. Berdasarkan fakta-fakta dan tuntutan di atas maka ideologi jurnalisme sangat penting kita terapkan untuk memperindah media yang sudah seperti neraka ini.

Ideologi Jurnalisme

Sebuah dasar pemikiran yang mengacu pada pengelolaan media yang idealis agar hak-hak manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup terpenuhi. Hak-hak manusia dalam pengelolaan kekayaan alam secara bersama dan tidak ada penguasaan mengenai sumber daya alam di muka bumi ini. Perlu diketahui, dengan adanya konglomerasi media ini menyebabkan pergerakan pers yang memiliki beribu jalur seluas lautan, menjadi satu jalur seluas comberan dan menyebabkan terhalangnya hak-hak pers untuk mewartakan berita secara bebas sesuai kode etik jurnalistik.

Ideologi ini memiliki dua prinsip yang dijadikan sebagai jantung dan paru-paru, yakni independen dan netral. Dengan kedua prinsip tersebut media sudah seharusnya berdiri sendiri tanpa dinaungi oleh lembaga atau instansi secara kapital dan memberitakan informasi secara objektif. Di seantero media khususnya di Indonesia, para subjek media mungkin dilema  untuk berideologi jurnalisme, karena di satu sisi, mereka sudah dituntut bekerja sesuai sistem yang berlaku di masing-masing media. Di sisi lain, mereka juga harus mewartakan berita yang objektif kepada masyarakat luas.

Hal tersebut berpengaruh juga terhadap keprofesionalan pers yang berada di bawah kendali penguasa media. Dikhawatirkan pers akan dijadikan sapi perah yang terus diberi makan demi menghasilkan susu perah sekedar untuk memuaskan keinginan para penguasa media.

Pers Mahasiswa

Berdasarkan kondisi pers nasional yang berada di ranahnya, seakan mereka sudah tidak mungkin menerapkan ideologi jurnalisme. Pers mahasiswa merupakan ranah yang pantas untuk menerapkan ideologi tersebut, karena pers mahasiswa tidak berada di bawah kendali para birokrat-birokrat kampus, melainan mereka berdiri secara independen dengan pergerakan-pergerakan idealis. Pers mahasiswa sama denga pers nasional, yang membedakan hanyalah ruang lingkup dan surat legalitas yang berupa Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sedangkan Surat Tanda Terdaftar (STT) adalah tanda legalitas untuk pers mahasiswa.

Pers mahasiswa cakupannya hanya di lingkungan kampus, berbeda dengan pada masa Orde Baru, ruang lingkup pers mahasiswa sama dengan ruang lingkup pers nasional. Berkat perjuangan pers mahasiswa dan mahasiswa yang dapat menggulingkan Soeharto dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia. Namun menginjak pasca Orde Baru, pers mahasiswa mengalami masa kelam yang pergerakannya hanya di dalam kampus, tetapi  dewasa ini, ruang lingkup pers mahasiswa sedang merambah ke luar kampus karena adanya respon positif dari masyarakat luar kampus. Dari situlah saatnya pers mahasiswa menerapkan ideologi jurnalisme.

1955, Tahun Perjuangan KAA dan Pers Mahasiswa


antaranews.com


Let a New Asia  and a new Afrika be Born,” demikian ungkapan Soekarno
pada Senin 18 April 1955 usai diperdengarkannya lagu “Indonesia Raya”,
Konferensi Asia Afrika diresmikan. Pada 1955 pula telah diresmikan dua
organisasi pers mahasiswa, Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI)
dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) di Kaliurang, Jawa Tengah.
Kedua peristiwa besar itu sama-sama berlabel “penting” dalam
pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Pers mahasiswa adalah sebuah lembaga penerbitan produk jurnalistik
yang dilakoni oleh mahasiswa. Dengan mengacu pada Kode Etik
Jurnalistik, UU No. 40 Tahun 1999, Pers mahasiswa memiliki kedudukan
yang sama sebagaimana pers mainstream di Indonesia khususnya. Kembali
ke Era Kolonial Belanda, memang belum ada pers mahasiswa karena pada
saat itu tidak ada perguruan tinggi. Tetapi pada 1908, muncul sebuah
organisasi dengan sebuah produk terbitannya.

Berawal dari gerakan sekumpulan mahasiswa yang dikirim berkuliah ke
Belanda sebagai akibat dari politik etis dan kembali lagi ke
Indonesia. Sekumpulan orang tersebut kemudian membentuk sebuah
organisasi bernama “Indische Vereniging” dengan produk terbitannya
majalah Hindia Poetra. Dalam pergerakannya, organisasi ini berupaya
menangkis Era Kolonial Belanda, salah satunya melalui majalah tersebut
yang berada di bawah manajemen Moch. Hatta. Berbagai tulisan kritis
terhadap pemerintahan Belanda saat itu dimuat di majalah tersebut.

Salah satunya tulisan Hatta yang mengkritisi praktik sewa tanah
industri gula Hindia-Belanda yang merugikan petani. Selain itu,
tulisan lainnya yang berisi kritikan terhadap volksraad, yaitu
parlemen yang dibuat Hindia Belanda agar sepenuhnya diubah menjadi
Parlemen Rakyat.

Seiring berjalannya waktu, Majalah Hindia Poetra berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka, pada 1924. Kemudian pada 1925, Organisasi “Indische
Vereniging” berganti nama menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI) yang
diketuai oleh Soekiman Wirjosandjojo. Pada saat itu Indonesia Merdeka
menjadi media pertama yang menyuarakan kepada seluruh wilayah bekas
jajahan agar membentuk bangsa yang merdeka atas nama Indonesia.

Lima tahun usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada Dekade
1950 atau dikenal dengan Era Demokrasi Liberal, Kemerdekaan Indonesia
diakui secara universal, baik nasional maupun internasional. Di decade
ini lah perguruan tinggi bermunculan sebagai bukti kemerdekaan dan
sebagai kebutuhan akan pendidikan di Negara merdeka. Artinya, jumlah
pers mahasiswa pun kian bertambah dan geliat pers mahasiswa bukan lagi
pada memperjuangkan kemerdekaan, melainkan mempertahankan kemerdekaan.

Di Tahun 1955, Konferensi Pers Mahasiswa Indonedia yang pertama
digelar dan melahirkan organisasi bernama Ikatan Wartawan Mahasiswa
Indonesia (IWMI) yang diketuai  T Yacob dan Serikat Pers Mahasiswa
Indonesia (SPMI) dengan diketuai Nugroho Notosusanto sebagai
organisasi yang menghimpun pers-pers mahasiswa Indonesia. Selanjutnya,
Pada konferensi pers mahasiswa Indonesia yang kedua, pada 16-19 Juli
1958 menghasilkan peleburan antara kedua organisasi di atas menjadi
Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Konferensi diatas bertujuan
membentuk Negara Indonesia yang merdeka.

Dalam tulisan Agus Gussan Nusantoro tercantum bahwa pers mahasiswa
sempat mengikuti Konferensi Pers Mahasiswa Asia yang dihadiri beberapa
Negara Asia, diantaranya Indonesia, Jepang, Selandia Baru, Pakistan,
dan Filipina. Selain itu sempat diadakan pula kerjasama dengan Pusat
Informasi Mahasiswa Jepang serta Serikat Editor Kampus Filipina dalam
suatu bentuk perjanjian segi tiga.

Demikian sebagian dari banyak sejarah pergerakan pers mahasiswa dalam
upaya perbaikan negara, mulai dari usaha memerdekakan sampai pada
menjaga kemerdekaan Negara Republik Indosnesia. Mengawas pergerakan
pemerintah dari Rezim Demokrasi Liberal, Terpimpin hingga Orde Baru.

Konferensi Asia Afrika

Bandung menjadi pemikat 109 negara, pada waktunya perwakilan dari
ratusan negara itu akan berkumpul dalam satu ruangan di gedung
Konferensi Asia Afrika. Otomatis segala perbaikan infrastruktur
menjelang KAA bisa dikatakan adalah bentuk syukur atas perjuangan KAA
saat itu, karena saat Soekarno memutuskan Konferensi diadakan di
Indonesia, ia menyadari bahwa Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi.

Upaya pelaksanaan Konferensi Asia Afrika bertujuan untuk membangun
solidaritas Asia Afrika dan menghentikan masalah-masalah yang timbul
dari pertentangan ideologi Blok Barat (kapital) dengan Blok Timur
(Komunis). Pada masa itu memang ada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
tetapi nyatanya badan Internasional itu tidak dapat menyelesaikan
masalah-masalah tersebut. Karena hal itu, Soekarno segera memerintah
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk mengusulkan Konferensi Asia
Afrika.

Kebetulan saat itu Ali Sastroamidjojo diundang oleh perdana menteri
Ceylon, Sir John Kotelawala dalam pertemuan informal dengan perdana
menteri Birma, India dan Pakistan. Dalam pertemuan itu, jejak
perjuangan KAA dimulai.

Pergerakan Pers mahasiswa dan Soekarno menjadi sebuah perjuangan yang
satu, yakni melepaskan Indonesia dari belenggu penjajah, menangkis
paham Blok Barat dan Blok Timur, serta menjunjung tinggi kemerdekaan.
Realitas pergerakannya, pers mahasiswa dengan Konferensi Pers
Mahasiswa Indonesia, Soekarno dengan Konferensi Asia-Afrikanya

Ketimpangan Kebijakan

Ilustrasi : Dede Lukman Hakim

Sebuah ironi muncul di akhir November 2014, berlakunya parkir berbayar di UIN SGD Bandung merupakan muntah pemangku kebijakan kampus yang tak dibersihkan. Mahasiswa yang kena cipratannya dipaksa untuk membersih. Sejak itu pemandangan di dekat pintu gerbang kampus sudah selaiknya mal pada umumnya. Beberapa kendaraan berbaris dalam saf untuk mengambil karcis parkir sebelum masuk kampus.
Ketika pulang, mereka berhenti sebelum palang parkir dan membayar seribu untuk motor dan mobil dua ribu per 24 jam. Rencananya, pendapatan parkir akan dialokasikan untuk pengadaan lahan parkir dan asuransi kendaraan. Itu dibenarkan oleh Kepala Bagian (Kabag) Umum, Fathujaman. Karena ini tersistematis seluruh mahsiswa menurutinya dalam bungkam.

Lahan parkir merupakan sebagian fasilitas yang seharusnya ada dan menjadi tanggung jawab kampus, bukan mahasiswa. Seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 45 bahwa setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan  sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan peserta didik.

Jika dikuliti permasalahan secara kontekstual dengan mensinkronkan antara undang-undang dengan kondisi faktual kebijakan parkir. Dapat diketahui ini merupakan propaganda atas ketidak bertanggungjawaban kampus. Dalam hal ini, kampus telah memberatkan tanggung jawabnya kepada mahasiswa karena tidak sejalan dengan konstitusi di atas. Tanpa disadari secara implisit mahasiswa diminta menyediakan fasilitas parkir.

Pada renovasi dan pembangunan infrastruktur yang rampung pada 2012, kampus dinilai lebih terfokus pada pembangunan gedung dan mengabaikan lahan parkir. Nampaknya penyediaan lahan parkir tidak direncanakan dalam masterplan pada prarenovasi dan pembangunan gedung di kampus ini. Akibatnya kendaraan terparkir semrawut dan ini mengejutkan pihak rektorat. Akhirnya dibentuklah Pusat Pengembangan Bisnis yang dikepalai oleh Dosen Fakultas Ushuludin, Ayi Sofyan.

Pusat Pengembangan Bisnis dibentuk sebagai jembatan antara kampus dengan pengelola parkir, Trust Parking, untuk memberlakukan parkir berbayar. Dalam hal ini Ayi dibuat dilema, dia mengaku lahan parkir selaiknya tidak dibebankan kepada mahasiswa dan ini menjadi tanggung jawab rektorat sepenuhnya. Di lain sisi, Ayi dituntut melaksanakan tugas yang dibebankan oleh rektorat.

Tapi apa daya, kebijakan kembali kepada rektor dan mengalihkan tanggung jawabnya kepada mahasiswa. Padahal segala kebutuhan penunjang pendidikan telah didanai 20% dari APBN dan itu tertera dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 49 tentang pengalokasian dana pendidikan. Anggaran lain berupa Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) yang mahasiswa bayar tiap smester. Sepantasnya cukup dua sumber anggaran tersebut sebagian persennya untuk mengkaver biaya pengadaan lahan parkir, belum lagi ditambah dana berupa hibah lainnya dari pemerintah.

Kebijakan parkir berbayar nampak sebagai akibat dari lahirnya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 62-65. Dalam pasal tersebut telah disebutkan bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi dalam mengelola lima bidang non akademik, satu diantaranya soal keuangan.

Jadi, UIN Bandung mengelola keuangan bersifat otonom. Dalam Undang-undang itu dijelaskan bahwa perguruan tinggi terbagi menjadi dua pengelola keuangan, Badan layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum. Undang-undang tersebut dinilai mematahkan UUD 1945 pasal 3 ayat 2 karena perguruan tinggi di Indonesia berkewenangan mencari pendanaan tanpa kontribusi negara.

Jika UU No. 12 Tahun 2012 itu diterapkan, kampus akan mencari dana ke mana-mana. Parkir berbayar di kampus ini adalah salah satu bukti komersialisasi yang dianggap benar di dunia pendidikan.
Berkaitan dengan ini, Rektor selaiknya benar-benar memanfaatkan anggaran APBN sesuai dengan perencanaan yang benar-benar matang. Sehingga mahasiswa tidak dirugikan.
  
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com